Gawat! Dilema mantan napi menjadi caleg: Pertarungan suara rakyat dengan hukum positif

Meskipun berjanji untuk memberantas korupsi, Presiden Joko Widodo tidak setuju jika mantan narapidana kasus korupsi dilarang nyaleg.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) tetap berharap rancangan Peraturan KPU yang berisi larangan bagi mantan narapidana kasus korupsi mencalonkan diri sebagai anggota DPR dan DPRD akan diundangkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, meskipun pemerintah sudah mengindikasikan bakal menolaknya.

Rancangan peraturan baru itu disahkan dalam rapat pleno di lembaga penyelenggara pemilihan umum pada Senin (04/05).

Pada hari yang sama pula rancangan yang dikenal dengan nama Peraturan KPU tersebut sudah diserahkan ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk diundangkan.

"Peraturan KPU ini proses pembuatannya panjang melalui uji publik, melalui rapat konsultasi dengan pemerintah dan DPR hingga akhirnya disahkan oleh rapat pleno KPU.

"Sekarang tinggal Kementerian Hukum dan HAM kita harapkan untuk sesegera mungkin sesuai dengan kewenangannya untuk mengundangkan peraturan KPU," kata Komisioner KPU Wahyu Setiawan dalam wawancara dengan BBC News Indonesia, Selasa (05/06).

 Persoalannya, beberapa jam sebelum draf Peraturan KPU diserahkan ke kementeriannya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengisyaratkan bakal menolak meneken rancangan PKPU.

"Nanti jangan dipaksa saya menandatangani sesuatu yang bertentangan dengan undang-undang itu saja," katanya kepada media di DPR pada Senin (04/06).

Suara Moral

Yang dimaksud sang menteri, hukum positif hingga kini tidak melarang mantan narapidana mencalonkan diri dalam pemilihan legislatif dan hanya pengadilanlah yang mempunyai kewenangan untuk mencabut hak politik seseorang.

Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang penyelenggaraan pemilu memang tidak melarang mantan narapidana mencalonkan diri.

Sinyal yang sama juga dikirim oleh Presiden Joko Widodo pekan lalu yang mengatakan bahwa mantan narapidana kasus korupsi mempunya hak politik, sama dengan warga negara yang lain, suatu hak yang dijamin oleh konstitusi.

Sekilas sikap itu berlawanan dengan upaya mewujudkan Nawacita dalam pemberantasan korupsi yang telah dijanjikan Joko Widodo ketika masih mencalonkan diri dalam pemilihan presiden 2014.

"Sekarang ini boleh kita katakan sedang terjadi semacam kompetisi antara suara moral rakyat yang ditangkap oleh KPU dengan bagaimana pemerintahan ini mencoba menerjemahkan itu dan kemudian menangkap suara moral dari rakyat itu," jelas peneliti komunikasi di Universitas Indonesia, Effendy Perangin-angin, yang sebelumnya menjabat sebagai kepala biro humas di Kementerian Hukum dan HAM.

Masalah ini menimbulkan persoalan baru bagi pemerintah karena jika mantan narapidana kasus korupsi dilarang dalam pemilihan legislatif maka langkah itu akan menabrak hukum.

"Dalam konteks hukum positif memang tetap merupakan haknya bagi mereka yang sebelumnya dijatuhi hukuman korupsi itu tetap boleh nyaleg menurut hukum positif Indonesia pada saat ini," tambahnya.

Proses hukuman sudah cukup?

Pengamat politik dari Universitas Airlangga Muhammad Asfar mencoba menjelaskan mengapa pemerintahan Presiden Joko Widodo justru menolak melarang mantan narapidana kasus korupsi turut dalam pemilihan legislatif.

"Pak Jokowi itu dalam posisi untuk menegakkan hukum. Mestinya aturan yang membatasi pribadi itu tidak boleh dikeluarkan oleh lembaga seperti KPU."

Jadi, sebagaimana dipaparkan oleh Muhammad Asfar, karena rancangan Peraturan KPU yang melarang mantan narapidana korupsi tersebut berkaitan dengan hak asasi dan tidak dikeluarkan oleh lembaga perundangan yang berwenang, maka sudah sewajarnya ditolak. Jika tidak, pemerintah berisiko menghadapi gugatan di pengadilan.

Menurut para pengamat, hakim saja yang menentukan apakah narapidana boleh terjun ke dunia politik atau tidak, ketika menjatuhkan vonis.
Lagi pula, di luar hierarki payung hukum, terdapat setidaknya dua argumen yang dapat dijadikan pertimbangan untuk melenggangkan mantan narapidana kasus korupsi boleh mencalonkan diri.

"Mereka yang pernah terkena kasus korupsi, kalau mencalonkan diri lagi, mereka sudah melalui pentahapan hukuman dipenjara sehingga, menurut saya, keputusan apakah mereka boleh mencalonkan diri atau tidak mestinya ada pada lembaga kehakiman," jelas Muhammad Asfar.

Idealnya, masih menurut Muhammad Asfar, sang hakim ketika menjatuhkan vonis kasus korupsi harus menyertakan keputusan apakah hak politik terpidana dicabut sementara atau selamanya.

Argumen kedua berkaitan dengan bobot keterlibatan terpidana dalam kasus korupsi.

"Dalam beberapa kasus ada orang-orang yang terkena kasus korupsi itu hanya mendukung, hanya terlibat kecil, bahkan hanya urusan administratif. Bukan urusan menerima dana besar," tambah Muhammad Asfar.

Akan tetapi KPU menyodorkan landasan yang dinilainya kuat sehingga pada akhirnya mengesahkan peraturan yang ditentang oleh DPR dan pemerintah ini.

"KPU berpandangan bahwa upaya menciptakan penyelenggara negara yang bersih dan bebas KKN itu harus dimulai dari pemilu, dan KPU hanya mempunyai kewenangan membuat peraturan KPU," tegas Komisioner KPU Wahyu Setiawan.

"Jadi kita mencoba berpartisipasi dengan seluruh komponen masyarakat berupaya menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN mulai dari hulunya dan hulunya adalah pemilu itu," paparnya.

Kini gendang ada di tangan pemerintah untuk mengesahkan atau tidak, terkait dengan larangan narapidana kasus korupsi mencalonkan diri dalam pemilihan legislatif yang akan digelar tahun depan.

Posting Komentar

Komentar yang sopan

Lebih baru Lebih lama