Tak Tersentuh Pemerintah, Pria Tunadaksa ini Tetap Berkarya

Pak Petok dengan hasil kreativitasnya berupa bakul bambu pesanan warga setempat. Meskipun cacat fisik dia tetap semangat berkarya. 

SAMPANG - Cacat fisik tak membuat Pak Petok (72) patah arang. Pria asal Dusun Talelah, Desa Banjar Talelah, Kecamatan Camplong, Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur, tetap berkarya. Walaupun tak punya kaki yang sempurna, ia piawai menganyam bakul dan keranjang dari bambu. Sebab bapak tunadaksa ini adalah tulang punggung keluarga. Maka, mau tidak mau, ia harus bekerja.

Pak Petok mengaku, dalam kesahariannya ia mampu membuat maksimal dua buah bakul dan keranjang bambu. Keterampilannya itu didapat dengan cara otodidak dan berawal dari coba-coba.

“Dalam sehari itu cuma satu, bisa dua kalau dipaksakan. Yang pesan itu warga setempat pesanan warga kadang hanya pesan satu atau dua saja. Kalau tidak pesan ya tidak produksi,” tuturnya, Selasa 3 Juli 2018.

Pendapatan dari keterampilan anyaman bambu bervariatif, berdasarkan ukuran yang dipesan masyarakat, yaitu mulai harga Rp 5 hingga 25 ribu. Selain itu, untuk bahan baku bambu yang dibutuhkannya dipesan dari sanak familinya. “Hasil penjualan bakul itu untuk kebutuhan keseharian, yaitu untuk adik dan istri saya yang masih setia menemani puluhan tahun meski sudah sakit-sakitan,” ucapnya.

Sementara Divisi Perlindungan Perempuan dan Anak, pegiat Jaringan Kawal Jawa Timur (Jaka Jatim) korda Sampang, Siti Farida mengungkapkan, karena keterbatasan fisiknya, semua hak-haknya seperti hak kependudukan tidak ia rasakan. Tidak hanya itu, sejumlah bantuan dari pemerintah juga tidak pernah cicipi selama puluhan tahun.

“Pak Petok tidak punya e-KTP, bantuan seperti PKH, KIS, dan bansos tunadaksa serta permodalan dengan keterampilan yang dimiliki untuk mengembangkan usahanya juga tidak pernah dirasakan. Memang selama ini Pak Petok hanya sekadar menerima rastra saja,” kata Farida saat mendatangi kediaman Pak Petok.

Lanjut Farida mengatakan, dengan keterbatasan fisiknya, Pak Petok tak sanggup pergi ke Kantor Kecamatan untuk mengurus administrasi kependudukan, akibatnya Pak Petok tidak punya e-KTP.

“Seharusnya pemerintah itu jemput bola, dong. Ini lagi, seperti Dinas Sosial, Koperasi juga tidak peduli terhadap kondisi Pak Petok, seharusnya dibantu permodalannya ataupun alat-alat yang dibutuhkan agar usahanya lebih mudah. Parahnya lagi, meski sudah tahu, pemerintahan desa maupun pihak kecamatan acuh terhadap kondisinya. Tidak sanggup menjadi penyambung lidah ke Pemkab,” terangnya.

Sumber: koranmadura.com

Posting Komentar

Komentar yang sopan

Lebih baru Lebih lama